#4. Serial Andre dan Calvin (Desi dan Dion)


Sabtu, 04 Mei 2013

Created and Story by: NicoLast
Edited by: Edy Cahyadi

Senin malam, seminggu kemudian. Hampir pukul sembilan malam ketika Andre dan Calvin menuntaskan sesi belajar bersama mereka. Tak ada selingan ngesex malam itu. Waktu penyelenggaraan ujian akhir nasional yang semakin dekat, tak lebih dari dua minggu lagi, memacu keduanya untuk serius mengulangi pelajaran yang ada dan bersepakat untuk menunda hubungan sex hingga ujian akhir usai. Keduanya tak mau gagal. Andre tak mau gagal dalam ujian sedangkan Calvin tak mau gagal mengajari Andre. Calvin merasa bertanggung jawab untuk membuat Andre dapat berhasil dalam ujiannya seperti yang diamanahkan oleh Pak Simangunsong padanya.

Sudah seminggu mereka tak bergumul, memacu birahi sejak pesta sex gila-gilaan di lapangan basket. Paling banter yang mereka lakukan hanya saling berciuman diantara tumpukan buku-buku Fisika yang berserakan di meja belajar.

Usai membereskan buku-bukunya, Andre pamit pada Calvin. Sebuah kecupan sayang didaratkannya ke bibir tipis milik temannya itu. “Gue pulang dulu ya,” bisiknya. Calvin mengangguk, dadanya bergemuruh menahan nafsu. Namun teringat akan kesepakatan yang mereka buat, dan rasa malu pada Andre karena tak mampu memegang janji membuatnya menahan diri sekuat tenaga untuk tak menarik tubuh jenjang Andre ke atas ranjang.

Andre yang memang sudah lebih berpengalaman dibandingkan dirinya dalam hal berhubungan sex, lebih bisa menguasai nafsunya. Saat mereka bersepakat untuk tak berhubungan sex lebih dari seminggu lalu, Andre pernah membuat Calvin malu hati. Saat Andre tiba-tiba mencium bibirnya dengan hangat Calvin tak mampu menahan birahinya dan langsung mendorong tubuh Andre terlentang ke lantai. “Vin, ingat janji kita men,” katanya diantara senyum nakalnya. Akhirnya dengan wajah merah karena menahan malu, Calvin kembali berkutat dengan hitungan-hitungan fisikanya.

“Sabar ya, Calvin ganteng,” bisik Andre di teliga sahabatnya itu.

“Jangan pancing-pancing Gue lagi dong,” rajuk Calvin.

“Hehehehe, masak gitu aja gak nahan sih?” goda Andre. Calvin pura-pura tak mendengar godaan temannya ketika itu.

Calvin mengantarkan Andre hingga ke pintu gerbang depan rumahnya. Matanya tak lekang memandangi teman sekolahnya yang macho itu. Saat itu Andre sudah bertengger di atas sepeda motornya, menggenakan jaket kulit hitam membalut tubuhnya yang atletis. Kaca mata hitam menghiasi wajah gantengnya. Kakinya sudah bersiap-siap untuk menghidupkan mesin, kemudian ia teringat sesuatu. “Eh, Cindy ulang tahun Minggu depan Vin,” katanya.

“Apa hubungannya dengan Gue?” tanya Calvin, jemarinya mengelus punggung lebar Andre.

“Apa-apan sih,” sela Andre, tangannya menepis jemari nakal Calvin, “Lo diundang ke pestanya dia,” sambungnya.

“O ya? Dimana?” Calvin nyengir.

“Rencananya di Villa keluarga Cindy di Sukabumi. Bakalan ada acara hikingnya, menjelajahi perkebunan teh milik keluarga mereka disana,”

“Seru juga. Gue ikut deh. Lo jeput Gue kan,”

“Pastilah, entar perginya rame-rame naik mobil kok,”

“O, gitu, berapa orang yang ikutan?”

“Kurang tau Gue, yang pasti temen-temen cowok Gue yang ngundang, mungkin sekitar lima sampe tujuh orang,”

“Siapa aja cowoknya?”

“Kok bukan nanya yang cewek?” goda Andre.

”Katanya Elo gak tau yang cewek siapa aja,” jawab Calvin mesem.

“Hehehe, canda. Yang pasti Gue dan Elo. Entar Gue rencananya mo ngajakin juga si Wisnu, Randy, David, Devon, mungkin si kembar juga,”

“Asik juga,”

“Asik apanya?”

“Hikingnya dong. Emang apanya?”

“Kirain cowoknya,” bisik Andre.

“Itu juga, hehehe. Selain hiking, ngapain lagi?”

“Gak tau juga. Yang pasti seru deh. Elo bisa nyobain cewek-ceweknya entar disana, sampe Elo puas. Hehehehe,”

“Ngawur,”

“Bener,”

“Gak ah. Gue mau nyobain Elo aja,”

“Mana bisa disana, bahaya,”

“Ya dibisa-bisain,”

“Sableng,”

“Biarin,”

“Si Silvia kayaknya ikut deh,”

“Gak ngurusin,”

“Katanya suka,”

“Sekarang sukanya Elo aja,”

“Gawat deh Gue, gimana si Cindy entar?”

“Mana Gue tahu. Itu urusan Elo, bagi waktu,”

“Hehehe. Liat entar deh. Gue balik dulu ya,”

“Hati-hati,”

“Yoi,”

Andre melajukan sepeda motornya. Calvin memandangi sosok Andre dan sepeda motornya hingga hilang di tikungan kompleks. Setelah itu ia bersiap-siap masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba, sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Dari kaca mobil itu yang gelap, samar-samar terlihat dua sosok manusia. Satu cewek dan yang mengemudikan mobil sepertinya cowok.

Kemudian, sebuah wajah cantik milik seorang gadis muda plus cengiran yang sangat dirindukannya nongol dari kaca pintu mobil itu yang secara otomatis bergerak turun. “Halo Calvin jelek!” seru gadis itu.

“Desi??! Kapan datang?,” seru Calvin gembira. Rupanya yang datang adalah Desi, sepupunya yang kini kuliah di UGM. Segera dibukanya kembali pintu gerbang yang tadi sudah ditutupnya saat Andre pergi. Calvin kemudian menghambur ke arah sepupunya. Keduanya langsung berpelukan dengan erat. Penuh kerinduan, setelah sekian lama tak pernah berjumpa dan juga tak pernah berkomunikasi lagi.

“Dasar jelek. Kok Elo bisa sekejam itu sih, ke Gue?!” maki Desi. Suaranya parau menahan perasaan haru birunya. Dibenamkannya wajahnya ke dada bidang Calvin.

Calvin tak bersuara. Bibirnya mencium rambut hitam sepupunya yang harum itu. Ciuman sayang pada sepupunya yang sudah sangat lama dirindukannya.

“Vin, Elo masih marah sama Gue ya. Masih marah ya karena omongan Gue yang dulu?” tanya Desi kembali karena ia tak menemukan jawaban dari Calvin.

“Enggak, Gue enggak marah kok,” jawab Calvin akhirnya. Suaranya terdengar bergetar. Rengkuhannya pada Desi semakin erat sambil jemarinya mengelus-elus rambut Desi penuh kasih sayang. Saking seriusnya berpelukan dan melepaskan rindu, kedua sepupu itu tak menyadari ada orang lain lagi yang kini berdiri di dekat mereka.

Saat Calvin membuka matanya, ia kaget ketika melihat seorang cowok ganteng sedang tersenyum-senyum memandangi mereka. Calvin segera melepaskan pelukannya dari Desi. “Eh, sorry Mas!” katanya pada cowok itu.Cowok ganteng tipikal asia dengan model rambut mirip personil F4. Desi pun tersentak, segera ia menolehkan pandangannya pada cowok itu.

“Dion, kenalin ini sepupu Gue, Calvin,” katanya kemudian, memperkenalkan cowok itu pada Calvin. Sang cowok mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Calvin, kemudian keduanya berjabatan tangan. Berkenalan.

“Dion,” katanya dengan suara bariton.

“Calvin,” balas Calvin. Meski sekilas, Calvin sudah dapat merekam sosok Dion dengan lengkap dalam memorinya. Penampilan dewasa, tinggi sekitar 180 cm, bertubuh atletis dengan dada bidang dan bahu lebar yang tercetak jelas pada t-shirt putih polos yang dikenakannya, memiliki senyum sangat manis dan tatapan mata tajam bak elang yang membuat jantungnya deg-degan. Calvin segera membuang tatapannya dari Dion. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa grogi beradu pandang dengan cowok ganteng yang baru dikenalnya itu.

Untuk mengurangi groginya, Calvin langsung mengajak Desi dan Dion masuk ke dalam rumah. Memandangi Dion berlama-lama akan semakin menambah groginya. Dan Calvin tak mau Desi akhirnya menyadari hal itu.

“Dia kakak kelas Gue di kampus,” kata Desi pada Calvin. Saat ini Dion sedang duduk sendiri di ruang keluarga sambil menonton siaran televisi. Sedangkan dua sepupu ini berada di dapur. Desi menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk mereka santap bertiga nanti. Sengaja mereka tak membangunkan Mbak Sum yang sudah tertidur. “Gue aja yang nyiapin minum. Kesian nyuruh Mbak Sum, dia kan udah capek kerja seharian,” kata Desi tadi saat Calvin akan membangunkan Mbak Sum untuk menyuruhnya menghidangkan minuman dan makanan.

“Kakak kelas?” tanya Calvin dengan senyum menggoda.

“Iya,”jawab Desi menunduk malu. Wajahnya merah seperti kepiting rebus.

“Masak sih?” matanya mengerling nakal menggoda Desi lagi.

Akhirnya dengan malu-malu Desi menerangkan kalau Dion adalah cowok yang saat ini sedang dekat dengannya. Mereka berdua sama-sama berangkat dari Yogya ke Jakarta sejak dua hari yang lalu. Rencananya setelah dari Jakarta, Dion langsung mudik ke rumahnya di Palembang karena saat ini mereka sedang liburan akademik menjelang penerimaan mahasiswa baru.

“Dua hari ini nginep di mana tuh orang?” tanya Calvin tembak langsung.

“Ya di rumah Gue,” jawab Desi nyengir.

“Gitu ya. Seru dong,” goda Calvin lagi.

“Lumayan,” jawab Desi lagi, ia meleletkan lidahnya pada Calvin.

“Emangnya gak punya sodara di Jakarta?”

“Ada sih. Tapi kalo dia ke sodaranya entar gak bebas dong dengan Gue. Eh Vin, jangan bilangin ke mama dan papa ya kalo dia punya sodara di Jakarta. Kemaren Gue bilang dia gak punya sodara disini, makanya mama dan papa ngijinin dia nginep di rumah,”

“Dasar,”

“Biarin,”

“Entar ketahuan Om dan Tante baru tau,”

“Santai aja lagi. Gue dan Dion kan udah gede. Mama sama papa asik-asik aja kok,”

“Hati-hati lho, jangan sampe hamil entar,”

“Gini-gini Gue lebih tua dari Elo Calvin jelek. Gue lebih ngerti cara mencegah kehamilan dibandingin Elo,”

“Hehehe, Gue percaya deh sama nenek,”

“Dasar jelek,”

Keduanya kemudian terdiam. Desi masih sibuk menyiapkan makanan dan minuman. Sementara Calvin memandangi Desi. Ia ingin bercerita soal Andre. Tapi ragu. Ia merasa saat ini belum tepat untuk menceritakannya pada sepupunya itu.

“Eh, gimana kabar Silvia?” Desi membuyarkan kediaman mereka. Calvin kaget dengan pertanyaan itu.

“Mmm… biasa aja,”

“Udah ada perkembangan bElon?”

“BElon sih. Masih pusing mikirin ujian nih. BElon mau mikirin kayak gituan,”

“Gitu ya. Ya udah, yang penting tetap diusahain ya entar-entar,”

“Pastilah. Entar Gue bilangin ke Elo kok kalo udah ada perkembangan,”

“Gue tunggu,”

“Yup,”

Calvin sangat bersyukur Desi tak menanyakan soal Andre. Kemudian keduanya kembali terdiam lagi. Dan kembali lagi Desi yang membuyarkan kediaman itu.

“Om sama Tante kemana Vin? Kok bElom ada di rumah?”

“Biasalah. Paling ada acara makan malam di luar seperti biasa. Gue kan udah biasa ditinggalin sendirian begini di rumah,” ada kesedihan pada nada suara Calvin. Desi memandangi sepupunya itu dengan perasaan menyesal. Sesungguhnya sejak tadi ia menghindari pembicaraan ke arah itu, namun karena bingung mau ngobrolin apalagi karena Calvin menggodanya soal Dion, akhirnya pertanyaan itu terlontar juga dari bibirnya.

“Udah beres nih. Kedepan yuk, kasian Dion Gue,” Desi segera mengajak Calvin ke depan mencoba mencairkan suasana agar sepupunya itu melupakan pertanyaan yang tadi dilontarkannya.

“Deuuu… Dion Gue ni ye,” ejek Calvin. Ia pun terlupa pada orang tuanya.

“Cemburu ya? Pengen juga ya? Makanya cari pacar dong. Udah ah, Vin Elo bawa nampan yang satu lagi nih. Mana bisa Gue bawa dua-duanya sekaligus,”

Keduanya beranjak meninggalkan dapur. Masing-masing membawa sebuah nampan berisi makanan dan minuman untuk dibawa ke ruang keluarga. Dion menyambut kedatangan mereka dengan senyum. Senyum yang membuat jantung Calvin berdebar. Calvin berusaha tampil wajar di dekat Dion. Ia berusaha menghindari tatapan langsung dengan cowok itu. Namun tak urung juga sesekali mata mereka bertemu pada satu garis dalam waktu yang cukup lama saat ia tertangkap basah oleh Dion sedang melirik ke arah cowok ganteng itu saat Desi sedang serius mengomentari acara sinetron di televisi yang sering tidak nyambung ceritanya. Dion membalas lirikan itu dengan tatapan tajam yang membuat Calvin salah tingkah dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Untunglah ada Desi yang sangat ahli menciptakan bahan untuk obrolan. Kesalahtingkahan Calvin dapat segera tertutupi. Obrolan ngalor ngidul antara mereka bertiga terus berlanjut hingga tak menyadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Calvin yang kebetulan melirik jam tangannya saat kembali membuang muka setelah beradu pandang kembali dengan Dion segera mengingatkan Desi. “Des, udah hampir jam sebelas malem nih,” katanya. Desi memang sering menginap di rumah Calvin. Namun karena hari ini Desi membawa Dion maka Calvin mengira Desi pasti akan pulang ke rumahnya malam ini.

“Cuek aja. Gue nginep disini kok,” jawab Desi santai. Jantung Calvin seperti mau copot mendengar jawaban Desi. Desi mau nginap disini? Terus Si Dion gimana dong? Tanyanya dalam hati. Tapi yang terlontar dari mulutnya adalah,“Maksud Elo?”

“Ya nginep, Gue kan biasa nginap disini,”

“Tapi…,”

“Dion? Ya dia nginep disini juga. Boleh kan?” rupanya Desi memahami kebingungan Calvin soal Dion.

“Boleh aja sih,” Calvin tetap bingung. Kalau nginap di rumahnya berarti Dion bakalan sekamar dengannya. Sebenarnya ia merasa sangat senang bisa sekamar dengan cowok ganteng itu. Namun masalahnya Dion ini adalah pacar Desi, sepupunya. Dan karenanya ia merasa tak nyaman.

Ketidaknyamanan Calvin rupanya terbaca oleh Dion. Ia segera berucap, “Gue bisa tidur di sofa kok Calv,” “Calv”? Panggilan apa pula itu kata Calvin dalam hati. Tapi ia menyukai Dion memanggilnya seperti itu. Calvin melirik pada Dion, dan seperti yang sudah-sudah Dion juga sedang menatapnya. Tatapan yang tak dimengerti Calvin apa artinya.

“Kok tidur di sofa? Elo tidur bareng Calvin aja. Bisa kan Vin?” kata Desi.

“Entar ngerepotin si Calvin Des,”

“Enggak kok enggak,” Calvin cepat berujar.

“Nah kan beres,” kata Desi.

Mereka kembali mengobrol sambil minum, makan dan menonton televisi. Seperti biasa Desi yang banyak berbicara tentang segala hal. Dan kedua cowok itu menanggapi bergantian. Sebenarnya hanya Dion yang masih sangat bersemangat menanggapi obrolan Desi. Sedangkan Calvin sudah kehilangan konsentrasi dengan obrolan mereka. Pikirannya sudah sibuk pada Dion yang akan tidur bersamanya nanti.

Setengah jam kemudian papa dan Mama Calvin pulang. Kedua orang tua Calvin adalah pebisnis-pebisnis muda yang handal. Mewarisi bakat yang dimiliki oleh orang tua mereka masing-masing, alias kakek-kakek Calvin dahulu. Sebenarnya yang memiliki dasar pendidikan ekonomi adalah mamanya Calvin. Sedangkan papanya nya adalah lulusan Fakultas Teknik Sipil dari ITB. Namun ternyata setelah diberi tanggung jawab untuk mengElola perusahaan keluarga sepeninggal ayahnya, Papa Calvin mampu mengembangkan usaha hotel mereka hingga kini sudah bertaraf internasional.

Sementara itu, Mamanya Calvin bekerja di bidang bisnis telekomunikasi seluler. Saat ini ia menjabat sebagai salah seorang anggota direksi pada sebuah perusahaan telekomunikasi seluler di Indonesia. Dahulu orang tua mamanya Calvin juga ingin menyerahkan perusahaan keluarga untuk dikElola oleh mamanya Calvin. Namun sang mama menolak, dengan alasan ingin mencoba bekerja di tempat lain. Lagipula, kata mamanya Calvin, usaha keluarga mereka yang bergerak di bidang perbankan sudah dikElola dengan sangat baik oleh suami mamanya Desi, menantu kakek alias ipar mamanya Calvin.

“Desi kapan datang?” mamanya Calvin menyambut kedatangan Desi dengan hangat. Dipeluk dan diciumnya pipi keponakannya itu dengan sayang. Demikian juga papanya Calvin.

“Lumayan lama juga tante. Desi datang berdua sama temen nih. Rencananya mo nginep. Bolehkan tante?”

“Boleh dong. Nginepnya gak sekamar berdua kan?” kata mamanya Calvin dengan senyum lucu.

“Ya enggaklah tante. Temen Desi nginepnya entar di kamar Calvin,”

“Hehehe. Tante becanda kok. O ya temennya yang ganteng ini bElon dikenalin sama om dan tante kan. Namanya siapa?”

“Dion tante,” kata Dion. Langsung mengulurkan tangannya pada mamanya Calvin kemudian pada papanya Calvin.

“Keponakan Om jangan diapa-apain ya,” kata Papa Calvin dengan pura-pura serius. Padahal dibibirnya tersungging senyum.

“Ihh… Om ada-ada aja deh,” sela Desi. Semuanya tertawa-tawa. Sementara Calvin hanya tersenyum-senyum kecil. Saat ini otaknya hanya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi nantinya saat ia dan Dion tidur dalam satu ranjang. Ia pasti tak bisa tidur karena deg-degan.

Sebentar kemudian papanya Calvin pamitan untuk masuk ke kamar. Katanya pengen istirahat duluan. Mama Calvin masih mengobrol sebentar dengan Desi dan Dion. Segala hal ditanyakan oleh mamanya Calvin pada Dion. Mulai dari tempat tinggal baik di Yogya ataupun di Palembang, keluarganya siapa aja dan lain sebagainya. Sepertinya mamanya Calvin sangat memproteksi keponakannya, Desi. Mungkin Ia tak mau keponakannya semata wayang itu mendapatkan pacar yang sembarangan. Setelah merasa puas menanyakan ini itu pada Dion, mamanya Calvin kemudian menyusul sang papa ke kamar untuk beristirahat.

“Obrolannya dilanjutkan besok lagi aja deh. Inikan udah malem, sebentar lagi tidur ya,” pesan mamanya Calvin sebelum masuk ke kamar.

“Okeh mam,” jawab Calvin.

Tak lama, ketiga remaja itupun menyelesaikan obrolan mereka dan bersiap-siap untuk masuk ke dalam kamar. Desi menuju kamar yang biasanya digunakannya apabila menginap di rumah Calvin. Sebelum memasuki kamar, Calvin sempat melirik kemesraan sepupunya itu pada Dion. Desi mencium pipi Dion dengan sayang. Sepertinya sambil mencium itu Desi sempat membisikkan sesuatu ke telinga Dion yang dijawab oleh Dion dengan anggukan. Entah apa yang mereka bisikkan dan Calvin merasa ia tak perlu untuk tau.

Selanjutnya Dion mengikuti Calvin menuju ke kamarnya. Sesampainya didalam kamar Calvin langsung masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Meninggalkan Dion yang duduk sendiri di ranjang. Di dalam kamar mandi sambil menggosok giginya Calvin sibuk pada pikirannya sendiri akan Dion.

Ia bersyukur karena Desi belum mengetahui tentang perkembangan sexnya saat ini, sehingga ia dengan mudah membiarkan Dion menginap sekamar dengannya. Calvin yakin, bila Desi sudah mengetahui rahasia dirinya, pasti ia tak akan mengijinkan Dion untuk tidur bersamanya. Jantung Calvin berdebar kencang. Lama Calvin berada dalam kamar mandi. Saat ia keluar, dilihatnya Dion sedang asik melihat-lihat koleksi game dan DVD miliknya.

“Doyan nonton ya Calv,” kata Dion santai. Kembali ia memanggil Calvin dengan sebutan Calv.

“Lumayanlah,” jawab Calvin berusaha sesantai mungkin. “Paling doyan nonton bokep, apalagi kalo yang maen cowok sama cowok,” yang ini diucapkan Calvin dalam hati doang.

“Perlu tuker pakaian untuk tidur gak Dion? Kalau perlu pake pakaian Gue aja,” kata Calvin kemudian. Kalau Dion bertukar pakaian maka ia punya kesempatan untuk melihat tubuh cowok itu tanpa busana, pikir Calvin dalam hati.Tapi ternyata tanggapan Dion tak seperti yang dikira oleh Calvin.

“Gak usah Calv,” jawab Dion. Calvin serta merta kecewa berat. Namun kemudian Dion melanjutkan kalimatnya lagi, “Gue biasanya kalo tidur gak pake baju. Gak papa kan,” katanya tersenyum.
Calvin makin jantungan. Gak pake baju???

“Gak papa, gak papa kok. Cuek aja,” jawab Calvin cepat. Ini malah melebihi dari apa yang diharapkannya. Segera disambungnya kalimatnya lagi, “Gue juga gitu kok. Rasanya lebih nyaman kalo tubuh kita bebas saat tidur,” katanya. Dengan sama-sama tak menggenakan pakaian, ia punya kesempatan untuk bersentuhan kulit dengan Dion, kata Calvin dalam hati.

Kemudian keduanya segera melepaskan pakaian masing-masing. Sambil membuka baju Calvin melirik-lirik tubuh indah Dion yang terpampang dihadapannya. Ia segera membuang muka, saat dilihatnya Dion menangkap basahnya sedang melirik seperti yang tadi terjadi ketika mereka ngumpul di ruang keluarga. Dan juga seperti tadi Dion menatapnya dengan tajam. Namun kali ini Calvin was-was dengan tatapan Dion itu. Soalnya mereka hanya berdua di kamar.

“Kenapa Calv? Kok Elo serius banget ngelihatin tubuh Gue,” tiba-tiba Dion bertanya masih dengan tetap menatap tajam pada Calvin. Saat itu keduanya hanya tinggal menggenakan celana dalam saja.

“Enggak kok. Gue cuman kagum aja, body Elo bagus banget,” jawab Calvin dengan suara yang coba diupayakan setenang-tenangnya. Padahal saat itu jantungnya berdegup dengan sangat cepat dan keras.

“Elo sendiri kan juga punya body bagus. Ngapain harus mengagumi body orang lain,” kata Dion dengan suara tegas.

“Mmmm…,” Calvin tak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya kelu. Ia hanya menunduk. Kembali didengarnya Dion berbicara.

“Gue rasa, Elo bukan hanya punya body bagus doang, tapi juga punya kontol yang bagus,” kata Dion. Calvin tercengang mendengar kata-kata Dion yang terakhir. Diangkatnya wajahnya yang tadi menunduk, lalu memandang ke arah Dion. Dilihatnya cowok ganteng bertubuh kekar itu perlahan-lahan berjalan mendekatinya.

“Maksud Elo?” tanyanya pelan. Dion semakin mendekat padanya. Tubuh keduanya kini sangat rapat dan berdiri berhadapan. Dada mereka yang bidang hampir bersentuhan saking rapatnya. Calvin tak kuasa menahan lagi, dirasakannya perlahan-lahan kontolnya mulai mengeras dibalik celana dalamnya.

“Maksud Gue ini,” kata Dion. Nafasnya yang hangat berhembus di pipi Calvin. Tiba-tiba Calvin merasakan kontolnya yang bersarang dalam celana dalam itu diremas dengan lembut oleh sebuah tangan, yang tak lain adalah tangan Dion. Calvin kaget, ia mundur selangkah. Namun jemari Dion terus meremas kontolnya. Kini ia tersenyum, memamerkan deretan giginya yang putih bersih, matanya menatap mata Calvin lurus.

“Dion. Jangan…,” suaranya pelan. Malah terdengar seperti mengerang. Libidonya yang tinggi plus cukup lama tak ngentot dengan Andre, membuat Calvin tak mampu untuk menahan birahinya dirangsang oleh Dion dengan remasan kontol itu.

“Cuek aja Calv,”

“Enggak ah,” Calvin pura-pura menolak.

“Jangan menolak Calv. Gue tau Elo suka Gue giniin. Dari tadi Elo terus-terusan ngelirik Gue, curi-curi pandang. Gue tau apa yang ada dipikiran Elo sejak tadi Calv,” kata Dion.

Kemudian Dion menurunkan celana dalamnya. Serta merta mata Calvin langsung melirik ke bawah dan tatapannya langsung menangkap sebuah kontol besar berjembut lebat milik Dion yang masih tidur, menjuntai ke bawah. Dengan nakal Dion menggerakkan pantatnya perlahan, sehingga kontol besar itu bergerak-gerak menyentuh tubuh bagian bawah Calvin.

“Gue bukan gay,” lirih suara Calvin. Tubuhnya bergetar.

“Gak usah pura-pura deh. Tapi kalopun emang Elo bukan gay, juga gak ada masalah buat Gue kok. Lagian Gue gak pernah bilang Lo gay. Apa menurut Elo Gue gay? Enggaklah. Di kampus, Gue udah biasa ketemu orang kayak Elo ini Calv. Cowok yang nafsu ngelihat cowok lain, padahal mereka bukan gay. Mereka juga doyan memek, kayak Gue doyan memek sepupu Elo. Dan seperti Elo juga, mereka berpura-pura menolak pada awalnya. Namun begitu diberi kontol, mereka ketagihan. Tidak mau berhenti,”

“Gue gak ngerti maksud Elo,” kata Calvin pura-pura bodoh. Padahal saat ini hatinya sedang bergembira ria, karena tak menyangka Dion ternyata doyan ngesex sejenis juga.
“Terserah Elo. Tapi Gue cuman mau bilang begini Calv,” Dion kemudian menarik kontol Calvin, sehingga mau tak mau ia mengikuti Dion yang membawanya untuk sama-sama duduk di atas ranjang.
“Lo tau kan kalo kontol itu enak dirangsang. Bila udah dirangsang maka kita akan memperoleh kenikmatan. Ngerangsangnya bisa dengan berbagai cara, dikocok, dielus-elus, diisep atau sebagainya. Bisa dilakukan sendiri, misalnya Elo coli. Atau bisa dilakukan dengan bantuan orang lain. Biasanya dengan dibantu orang lain lebih enak rasanya. Nah, kalo Elo memahami hakikat ngerangsang kontol untuk memperoleh kenikmatan, maka buat Elo gak ada masalah siapapun yang merangsang. Yang penting Elo memperoleh kenikmatan itu,”

“Mmmm. Trus?”

“Nah, saat ini Gue pengen meraih kenikmatan itu bersama Elo,”

“Kalo Gue gak mau?”

“Gue paksa. Apa Elo pengen Gue perkosa?”

“Enak aja,”

“Emang Gue mau cari enak kok. Tepatnya nikmat,”

“Gak ah,” Calvin berpura-pura menghindar dari Dion. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Dion pada kontolnya. Namun Dion tak membiarkan, segera ia mendorong tubuh Calvin hingga berbaring diatas ranjang. Selanjutnya ditindihnya. Bibirnya melumat bibir Calvin dan tubuhnya bergerak-gerak menggesek tubuh Calvin, khususnya dibagian selangkangan.

“Jangan Dion. Elo kan pacar Desi. Masak Elo mengkhianati dia,”

“Kalo Gue mencintai cewek lain, itu baru Gue mengkhianati dia. Tapi ini tidak. Gue kan bukan mencintai Elo. Yang kita lakukan gak beda ama coli Calv. Hanya memuaskan hasrat doang. Gue cuman pengen have fun doang dengan Elo. Memuaskan libido Gue dan Elo dengan apa yang kita miliki,” jawab Dion. Calvin rasanya pengen tersenyum geli mendengar alasan pembenar yang diutarakan Dion.

Calvin tak menanggapi lagi perkataan Dion. Demikian pula sebaliknya, Dion tak lagi berbicara. Keduanya kini asik melumat bibir dengan buas dalam keadaan tubuh sama-sama telanjang bulat.

Selanjutnya kedua cowok ganteng itu sibuk saling merangsang satu sama lain. Mencium, mencupang, menjilat, mengisap, meremas, meraba dan lain sebagainya. Sprei tempat tidur sudah berantakan oleh pergerakan tubuh mereka yang binal. Saat ini Calvin sedang asik menyElomoti pentil dada bidang Dion, mengisap, menjilat, menyedotnya seperti anak bayi menetek pada ibunya. Sementara itu Dion merem melek keenakan, sambil tangannya mengocok-ngocok batang kontol Calvin. Kulit Dion yang putih bersih rame dengan bulatan-bulatan merah bekas cupangan Calvin dan juga mungkin bekas cupangan Desi. Soalnya sebelum Calvin mencupangnya, di sekitar dada bidang Dion, Calvin sudah menemukan bekas cupangan lain yang bukan dibuat oleh bibir Calvin.


Puas menetek di dada, Calvin mencari batang kontol Dion. Begitu bertemu dengan apa yang dicarinya, mulutnya segera mengisap kepala kontol Dion yang besar dan kemerahan itu. Sambil mengisap, tangannya menggenggam batang besar milik Dion yang penuh urat-urat menonjol. Calvin saat ini seperti anak bayi yang ngedot dengan menggunakan botol susu saja.

Dion juga tak kalah serunya dengan Calvin. Ia juga mencari-cari batang kontol Calvin. Sama seperti Calvin, setelah menemukan apa yang dicarinya, langsung dimasukkannya ke dalam mulut untuk dikulum dengan lahap. Kuluman Dion benar-benar sangat bernafsu. Ia bahkan berusaha membenamkan seluruh batang kontol Calvin ke dalam mulutnya.

Calvin sangat keenakan oleh perlakuan Dion itu. Baru sekali ini ia merasakan kepala kontolnya menembus hingga tenggorokan dan melewati amandel seseorang. Calvin mengerang-erang keenakan. Apalagi saat dirasakannya jari telunjuk Dion melakukan sodokan-sodokan pada lobang pantatnya.

Hampir lima menit mereka dalam posisi 69 seperti itu. Dalam mana Calvin diatas tubuh Dion. Tiba-tiba, sedang asik-asiknya menyElomoti batang besar milik Dion, tubuh Calvin didorong oleh Dion hingga kini
Dionlah yang kembali menindih Calvin. Tak lama menindih, Dion kemudian duduk dan menarik tubuh Calvin untuk duduk diatas pahanya. Dengan saling berpelukan berhadapan dengan Calvin duduk dalam pangkuan Dion, keduanya saling melumat bibir. Calvin sangat menyukai bibir Dion. Merah, dan sedikit tebal di bagian bawah, meskipun tidak tebal sekali. Selama ini Calvin selalu berciuman dengan cowok yang memiliki bibir tipis seperti dirinya. Ternyata mencium bibir cowok yang sedikit tebal lebih nikmat. Lebih enak dilumat dan dikulum-kulum.

Sambil berciuman, mereka melakukan adu batang kontol. Nikmat sekali rasanya. Dua batang kontol besar yang licin karena ludah itu, bergesekan. Ditambah lagi gesekan jembut mereka, menimbulkan sensasi yang tiada tara. Geli-geli nikmat.

“Sekarang Gue akan masukin pantat Elo,” kata Dion.

“Gue bElon pernah,” kata Calvin berpura-pura.

“Calv, Gue tau beda lobang pantat perjaka sama yang enggak. Meskipun lobang pantat Elo masih sempit, tapi lobang pantat Elo udah gak perjaka lagi,” kata Dion.

Calvin tersipu karena rahasianya ketahuan. “Kok Elo tau sih?” tanyanya.

“Waktu Gue nyodok-nyodok lobang pantat Elo dengan jari tadi, Gue merasakan mulut lobang pantat Elo udah dikelilingi dengan gumpalan kecil daging yang melingkar seperti cincin. Itu tandanya lobang pantat Elo udah beberapa kali dijebol oleh batang kontol dengan ukuran yang lumayan gede,”

“Gitu ya,” Calvin nyengir sendiri, ia jadi terbayang dengan kontol-kontol gede milik anak basket yang pernah menggilir lobang pantatnya.

“Yoi,”

“Tapi masih sempit kan?”

“Kayaknya sih masih. Tapi entahlah. Sekarang Elo coba ngangkang deh dan masukin batang kontol Gue ke dalam lobang pantat Elo,”

Calvin mengikuti instruksi Dion. Ia mengangkang untuk melebarkan mulut lobang pantatnya. Kemudian perlahan-lahan ia menduduki batang kontol Dion. Kepala kontol Dion mulai menyusup ke dalam celah itu. Membuat lobang pantat Calvin seperti terdorong masuk ke dalam.

“Gimana?” tanya Calvin memastikan kesempitan lobang pantatnya.

“Apanya?” Dion bingung atas pertanyaan Calvin yang tak lengkap.

“Lobangnya, masih sempit gak?”

“Asik men, masih lumayan sempit. Dorong lagi terus,”

“Okeh… erghhhh… erghhh…,”

“Terushh ohhh…,”

Batang kontol Dion terus menyusup ke dalam, sedikit demi sedikit. Senti demi senti. Ia merasakan batang kontolnya dijepit oleh sebuah lorong yang memiliki daging-daging empuk yang dilapisi seperti cincin yang mencengkeram dengan erat.

“Ohhhh… terushhhhh Calvvvinnhhhhh…,”

“Oh menhhh…, besar bangethhhhh…,”

“Yeshhh…,”

“Gimana Calv?” tanya Dion setelah kontolnya masuk seluruhnya ke lobang pantat Calvin.

“Apanya?”

“Kontol Gue dibandingkan kontol yang pernah Elo jepit?”

“Oh…, punya Elo besar dan berurat-urat. Gue bElon pernah ngerasakan yang kayak gini. Kalau cuman besar udah beberapa. Tapi enggak sampe urat-uratnya kerasa banget kayak gini,”

“Enak kan?”

“He eh,”

“Sekarang Gue genjot ya,”

“Boleh,”

“Sama-sama genjotnya. Genjotannya harus yang cepat dan keras. Biar kerasa banget,”

“Okeh,”

Keduanya melakukan genjotan pantat dengan cepat dan keras. Calvin kesakitan, Dion pun kesakitan. Keduanya menggigit bibir bawah mereka menahan sakit. Namun kenikmatan yang mereka rasakan jauh lebih besar dari rasa sakit itu. Mereka terus bergoyang. Suara tepukan daging paha mereka yang beradu terdengar keras dibarengi erangan, teriakan, dan desahan dari mulut mereka, plus suara ranjang yang berderak-derak.

Mereka terus berpacu. Tubuh dan rambut keduanya basah kuyup bersimbah keringat. Sedang asik-asiknya mengentot, tiba-tiba terdengar dering ponsel Dion.

“Ponsel Elo bunyi tuh. Ahh… ahhh… ahhh..,” kata Calvin pada Dion.

“Biarin…oh oh oh oh oh…,”

“Gak liat dulu, siapa yang nelpohhhh ohhhhhhhh,”

“Gak usahh ahhh … itu… Desihh… ohhh … oggg …,”

“Kok tauhhh ohhhh.”

“Guehhsama diah tadi rencananya mo ngentothhh ohhhh, kalohh Elohh udah tidurhhh,”

“Yang tadihhh lohhhh dibisikin ituhh yahhhh … ohhh…,”

“Yeshhh… ohhhhhhhh…,”

“Trushhh … gimanahh… donghhhkkkhh…?”

“Abis ini ohhh Gue kesanahh…,”

“Masih bisah? ohhh ohhhh …,”

“Bisalahhh ahhhhh…,”

“Udah ohhh mau keluar bElonnhh? Ohhhh…,”

“Bentar lagihhhhhh…,”

“Gueh jugahh… ohhh…,”

“Samahh samahhhh… ohhhh…,”

“Udahhhh?”

“Dikithhh lagihhh aohhhhh… Cepathhhh… lebih cepathhh…,”

“Ginih… ouhhh… ouhhhhh,”

Ponsel berhenti berdering. Dion dan Calvin terus berpacu. Dengan cepat dan semakin cepat. Ingin segera menuntaskan persenggamaan itu.

“Ooohhhhhhhhh… yeshhhhhhhhh…,” Dion mengerang keras. Batang kontolnya terasa berkedut-kedut di lobang pantat Calvin. Sekejap kemudian spermanya menyembur-nyembur di dalam lobang pantatCalvin.

“Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crotttttttttttt…,”

Calvin menyusul mengerang. Spermanya nyemprot ke perut dan dada Dion. Malah ada yang mElompat hingga mengenai wajah ganteng Dion. “Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crottt… Crotttttttttttt…,”

“Ohhhhhhh… godhhhhhhhhh… arghhhhh…,” jerit Calvin. Untunglah kamar Calvin kedap suara, sehingga tak perlu kuatir jeritan keras mereka terdengar keluar. Ponsel Dion kembali berdering.

Dion langsung mendorong tubuh Calvin hingga terjatuh telentang ke atas ranjang disamping tubuhnya. Kontol Dion yang tercabut dari lobang pantat Calvin, menyebabkan dari lobang pantat Calvin mengalir sperma kental milik Dion. Segera Dion berdiri dari ranjang dan terburu-buru mengambil ponselnya yang tadi diletakkannya diatas meja. Calvin tertawa geli melihat Dion yang gelagapan seperti itu. Saat itu tubuh Dion masih belepotan sperma kental milik Calvin di perut, dan dada. Sedangkan kontolnya yang masih setengah tegak, belepotan dengan spermanya sendiri, sisa dari sperma yang tadi disemprotkannya di lobang pantat Calvin.

Bersambung...

0 komentar: