[Elmo]
Aku membaca status pasien yang harus aku laporkan pagi ini. Pasien tadi subuh masih di ruang UGD, sekarang sudah pindah ke ruang obserfasi. Keluarga pasien belum dapat dihubungi. Hampir selalu begitu, pasien kecelakaan tunggal seperti itu selalu membutuhkan waktu lama untuk tindakan. Kadang sangat gawat dan butuh operasi cito namun tanpa persetujuan keluarga operasi tidak mungkin dilakukan sedangkan pasien sendiri dalam kesadarannya tidak composmentis. Setelah keluarga pasien datang pun jarang sekali langsung setuju pada tindakan radikal yang disarankan. Ada saja anggota keluarga lain yang harus ditunggu atau berunding yang memakan waktu lama. Akhirnya pasien tidak terselamatkan.
Padahal kebijaksanaan rumah sakit ini sudah sangat meringankan. Contohnya pasien tadi malam. Walaupun tanpa keluarga atau jaminan pasien dapat membayar,pihak rumahsakit sudah melakukan CT-Scan, foto servikal, thoraks dan pemeriksaan darah, sehingga diagnosis segera ditegakkan sehingga saat keluarga pasien datang tidak menghabiskan waktu sia-sia lagi hanya tinggal menandatangani pernyataan tertulis tentang tindakan berikutnya tanpa perlu membayar uang jaminan dulu konsulen-konsulen kami bersedia melakukan operasi. Inilah nasib rumah sakit pendidikan swasta. Kebaikannya tidak dilihat tetapi kesalahan kecil saja rumah sakit bisa dituntut. Mereka menutup mata bahwa kami manusia bukan malaikat yang diberi tugas hampir seperti Tuhan menyelamatkan nyawa manusia.
Aku menguap berkali-kali. Tidak tidur sedikitpun karena pasien kecelakaan kemarinitu harus dipantau sepanjang malam. Aku titipkan sebentar pasien ini pada perawat karena harus bed site teaching.
Hari ini aku harus mempresentasikan 3 pasien. Aku kesulitan berkonsentrasi. Pasien-pasien ini pernah kuterima di UGD sehingga memang sewajarnya aku yang mempresentasikan ketiganya dalam bed site teaching. Aku merasakan gemetar. Aku benar-benar takut ditambah hanya tidur 1jam kemarin.
Aku melihat Rani dan Cipro sekilah, wajah mereka sama tegangnya.
"Selamat pagi dr. De Jong, Tn. Anton 45 tahun,memasuki perawatan hari ke pertama. PasienUrologi dirawat oleh dr. William. Diagnosis kerja uretrolitiasis." memulai presentasiku saat dr.De Jong sedang visite salah satu pasienku.
Dia berbicara ramah dengan Pak Anton. Menanyakan kabarnya hari ini kemudian menyemangatinya.
"Dari mana Anda tahu kalo ini uretrolitiasis?" tanyanya tegas dengan pandangan menusuk kedalam matanya. Perubahan sikaPnya benar-benar kontras terhadap Pak Anton dibandingkanku. Aku merasa kedua lututku lemas menerima pandangan itu.
"Dari anamnesis dok, keluhan utama pasien nyeri pinggang kanan yang hilang timbul, darikebiasaan pasien yang kurang minum dan sering duduk karena pekerjaannya supir." jawabku. Suara gemetaranku sangat terdengar.
Beliau menanyakan beberapa pertanyaan lagi,aku coba menjawab tetapi wajah seramnya tidak berkurang.
"Lakukan pemeriksaan nyeri ketuk CVA, tadi Anda bilang positif kan?"
Saking gugupnya aku tidak beranjak. Aku berdiri disebelah kiri tempat tidur pasien. Akulangsung melakukan pemeriksaan perkusi nyeri ketuk CVA dari sebelah kiri. Aku menyadarinya setelah melakukannya. Aku dalam masalah besar. Aku menundukan kepala dalam-dalam rasanya berharap lantai bangsal terbuka lalu menelanku sekarang juga.
"Anda merasa pantas menjadi dokter? Pemeriksaan seperti ini saja Anda tidak dapat mengerjakannya!" nadanya pelan namun sangat menusuk. Mentalku segera jatuh. Pak Anton pasien ketiga yang harus aku presentasikan.
Dr. De Jong merupakan dokter senior umurnya hampir 70 tahun, setiap hari senin beliau melakukan bed site teaching atau visiteatau lebih populer disebut Ronde, dia mengunjungi semua pasien bedah dan kami mempresentasikan. Wibawa dan karismanya membuat koass sepertiku merasa seperti kutu.
Selesai ronde aku kekamar mandi lalu menangis menyesali kebodohanku.
Aku membaca status pasien yang harus aku laporkan pagi ini. Pasien tadi subuh masih di ruang UGD, sekarang sudah pindah ke ruang obserfasi. Keluarga pasien belum dapat dihubungi. Hampir selalu begitu, pasien kecelakaan tunggal seperti itu selalu membutuhkan waktu lama untuk tindakan. Kadang sangat gawat dan butuh operasi cito namun tanpa persetujuan keluarga operasi tidak mungkin dilakukan sedangkan pasien sendiri dalam kesadarannya tidak composmentis. Setelah keluarga pasien datang pun jarang sekali langsung setuju pada tindakan radikal yang disarankan. Ada saja anggota keluarga lain yang harus ditunggu atau berunding yang memakan waktu lama. Akhirnya pasien tidak terselamatkan.
Padahal kebijaksanaan rumah sakit ini sudah sangat meringankan. Contohnya pasien tadi malam. Walaupun tanpa keluarga atau jaminan pasien dapat membayar,pihak rumahsakit sudah melakukan CT-Scan, foto servikal, thoraks dan pemeriksaan darah, sehingga diagnosis segera ditegakkan sehingga saat keluarga pasien datang tidak menghabiskan waktu sia-sia lagi hanya tinggal menandatangani pernyataan tertulis tentang tindakan berikutnya tanpa perlu membayar uang jaminan dulu konsulen-konsulen kami bersedia melakukan operasi. Inilah nasib rumah sakit pendidikan swasta. Kebaikannya tidak dilihat tetapi kesalahan kecil saja rumah sakit bisa dituntut. Mereka menutup mata bahwa kami manusia bukan malaikat yang diberi tugas hampir seperti Tuhan menyelamatkan nyawa manusia.
Aku menguap berkali-kali. Tidak tidur sedikitpun karena pasien kecelakaan kemarinitu harus dipantau sepanjang malam. Aku titipkan sebentar pasien ini pada perawat karena harus bed site teaching.
Hari ini aku harus mempresentasikan 3 pasien. Aku kesulitan berkonsentrasi. Pasien-pasien ini pernah kuterima di UGD sehingga memang sewajarnya aku yang mempresentasikan ketiganya dalam bed site teaching. Aku merasakan gemetar. Aku benar-benar takut ditambah hanya tidur 1jam kemarin.
Aku melihat Rani dan Cipro sekilah, wajah mereka sama tegangnya.
"Selamat pagi dr. De Jong, Tn. Anton 45 tahun,memasuki perawatan hari ke pertama. PasienUrologi dirawat oleh dr. William. Diagnosis kerja uretrolitiasis." memulai presentasiku saat dr.De Jong sedang visite salah satu pasienku.
Dia berbicara ramah dengan Pak Anton. Menanyakan kabarnya hari ini kemudian menyemangatinya.
"Dari mana Anda tahu kalo ini uretrolitiasis?" tanyanya tegas dengan pandangan menusuk kedalam matanya. Perubahan sikaPnya benar-benar kontras terhadap Pak Anton dibandingkanku. Aku merasa kedua lututku lemas menerima pandangan itu.
"Dari anamnesis dok, keluhan utama pasien nyeri pinggang kanan yang hilang timbul, darikebiasaan pasien yang kurang minum dan sering duduk karena pekerjaannya supir." jawabku. Suara gemetaranku sangat terdengar.
Beliau menanyakan beberapa pertanyaan lagi,aku coba menjawab tetapi wajah seramnya tidak berkurang.
"Lakukan pemeriksaan nyeri ketuk CVA, tadi Anda bilang positif kan?"
Saking gugupnya aku tidak beranjak. Aku berdiri disebelah kiri tempat tidur pasien. Akulangsung melakukan pemeriksaan perkusi nyeri ketuk CVA dari sebelah kiri. Aku menyadarinya setelah melakukannya. Aku dalam masalah besar. Aku menundukan kepala dalam-dalam rasanya berharap lantai bangsal terbuka lalu menelanku sekarang juga.
"Anda merasa pantas menjadi dokter? Pemeriksaan seperti ini saja Anda tidak dapat mengerjakannya!" nadanya pelan namun sangat menusuk. Mentalku segera jatuh. Pak Anton pasien ketiga yang harus aku presentasikan.
Dr. De Jong merupakan dokter senior umurnya hampir 70 tahun, setiap hari senin beliau melakukan bed site teaching atau visiteatau lebih populer disebut Ronde, dia mengunjungi semua pasien bedah dan kami mempresentasikan. Wibawa dan karismanya membuat koass sepertiku merasa seperti kutu.
Selesai ronde aku kekamar mandi lalu menangis menyesali kebodohanku.
0 komentar: