Created and Story by: NicoLast
Edited by: Edy Cahyadi
Edited by: Edy Cahyadi
Keesokan
paginya, begitu terbangun dari tidur mereka di rumah masing-masing, Andre dan
Calvin memeriksa pesan-pesan sms yang masuk ke ponsel mereka. Namun ternyata
tidak ada satupun pesan dari teman mereka yang mengetahui nomor ponsel milik
peneror yang mereka tanyakan semalam. Cindy juga membalas sms pertanyaan Andre.
Jawaban Cindy sungguh mengagetkan Andre.“NGAPAIN LO NANYA-NANYA GUA? KITA UDAH
PUTUS. GAK ADA URUSAN LAGI! ITU KAN SELINGKUHAN ELO. PURA-PURA GAK TAU LAGI!”
Andre tak
menyangka Cindy sangat marah padanya sampai-sampai mengatakan putus. Andre tak
pernah berpikir akan putus secara tidak baik-baik dengan siapapun, termasuk
Cindy. Karena itu mendadak putus (bukan mendadak dangdut lho) dengan Cindy
seperti itu membuat Andre sedikit shock, namun ia berusaha tidak
terpengaruh dengan hal itu. Masih ada hal lain yang lebih berat yang perlu di
pikirkannya, yaitu rekaman cabulnya bersama Calvin yang berada di tangan
penerornya.
***
Sementara
itu di rumah Cindy, Asep sedang mengantarkan sarapan untuk majikannya yang
cantik. Sarapan itu diantarkan Asep langsung ke kamar gadis yang semalam
bertempur liar bersamanya di ruang tamu itu. Setelah orgasmenya tuntas
bersamaan dengan Cindy, Asep yang perkasa memang masih sempat membopong tubuh
majikannya yang kelelahan ke dalam kamarnya. Ketika Asep akan meninggalkan
Cindy sendirian di kamar, gadis itu menahannya. Jadilah malam itu Asep tidur
berpelukan mesra dengan majikannya yang cantik.
“Kamu kok
repot-repot banget sih Sep?” tanya Cindy dengan senyum manja pada Asep yang
membawakan sarapannya. Nasi goreng spesial pake tElor ceplok plus segelas jus
jeruk hangat terhidang di atas nampan yang di bawa Asep. Nampan itu kemudian di
letakkan Asep di atas pangkuan Cindy yang duduk di atas kasur dengan tubuh
telanjangnya di balut selimut. Udara kamar yang dingin oleh pendingin ruangan
membuat Cindy tak mau kedinginan.
“Habisnya
Non semalam juga sudah repot memuaskan sayah,” sahut Asep cerdik. Makin pinter
aja cowok desa ini menjawab. Asep yang bertelanjang dada kemudian duduk di
samping Cindy.
“Ih… kamu,”
sungut Cindy manja sambil mencubit puting dada bidang Asep.
Cowok desa
itu mengelak dari cubitan nakal majikan cantiknya itu. Kemudian ia
memperhatikan majikannya yang mulai menyuap sesendok demi sesendok nasi goreng
ke dalam mulut mungilnya yang semalam sampai termonyong-monyong mengulum batang
kontolnya.
“Sep, kamu
kok tiba-tiba datang ke Jakarta. Ada apa sih?” tanya Cindy. Rupanya gadis itu
baru tersadar kalau kemarin belum sempat menanyakan alasan kedatangan Asep.
“Hmm..,”
Asep menunduk, terasa sungkan baginya mengatakan maksud kedatangannya kepada
Cindy.
“Ada apa
sih? Diomongin dong, gak usah malu-malu,” kata Cindy.
“Sayah mau
kerjah di sini ajah Non,” sahut Asep kemudian.
“Oh gitu.
Ngomongin gitu aja malu-malu,” kata Cindy.
“Non gak
keberatan?”
“Ngapain
juga keberatan. Kalo kamu di sini sayakan gampang kalo kepingin ngentot sama
kamu,” sahut Cindy santai. Asep tersenyum.
“Kamu mau
kerja apa disini?” tanya Cindy.
“Ya terserah
Non aja. Tapi Non…”
“Tapi apa?”
“Non jangan
bilang-bilang sama Abah dan Ibu kalau sayah disini ya.”
“Emang
kenapa?”
“Sayah gak
bilang kalo mau ke rumah Non. Saya kabur dari rumah.”
“Kok gitu?”
“Abah sama
ibu tidak setuju ketika sayah omongin pingin ngerantau ke Jakarta. Kata merekah
di kota nanti sayah bisa rusak.”
“Ih, ada-ada
aja orang tua kamu itu. Gimana ceritanya kamu jadi rusak? Yang bener adalah
kamu yang ngerusak memek saya,” kata Cindy terkikik.
Asep ikutan
tertawa.
“Sep udah
kenyang nih, bawa ke dapur aja nih makanan,” kata Cindy lagi.
“Kok dikit
banget makannya Non?’ tanya Asep.
“Kalo
banyak-banyak makan, aku gemuk dong. Udah deh sana, aku mau mandi dulu,” kata
Cindy.
Asep
kemudian berlalu membawa nampan menuju dapur. Cindy menuju kamar mandi yang ada
di dalam kamarnya. Keran air di bath tub yang telah di tuang sabun cair di
hidupkannya. Menunggu air di bath tub penuh, Cindy mengguyur tubuh ramping
sintalnya dengan air dingin menyegarkan dari shower. Setelah bath tub penuh air
dan busa sabun Cindy kemudian berendam di sana.
Lima menit
berendam sambil memejamkan mata di dalam bath tub, tiba-tiba Cindy
mendengar langkah kaki memasuki kamar mandinya. Di samping bath tub, di
lihatnya Asep berdiri tegak mamandanginya. Tubuhnya yang kekar sudah telanjang
bulat. Batang kotolnya yang besar keras mengacung. Cindy tersenyum nakal pada
pemuda desa itu. Ia segera paham apa yang di inginkan oleh Asep saat itu.
“Kemari Sep,”
kata Cindy.
Selanjutnya
Cindy dan Asep bergumul di dalam bath tub. Busa sabun tumpah ruah dari
dalam bath tub saat kedua makhluk lain jenis itu sekali lagi meluapkan
birahi mereka.
***
Andre masih
menunggu balasan sms dari teman-temannya sampai siang di rumah. Ia tidak
berangkat sekolah lagi karena tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja.
Hampir semua teman yang di kiriminya sms sudah membalas, namun tetap saja tidak
ada yang tahu nomor ponsel siapa yang mengirimkan sms teror itu kepada Andre.
Bosen di
rumah, Andre pergi ke rumah Calvin. Sahabatnya itu terlihat murung saat Andre
tiba di rumahnya. Membayangkan kemungkinan buruk apa bila rekaman cabul itu
tersebar, yang membuat Calvin murung. Kedua sahabat itu membicarakan keresahan
mereka di teras rumah Calvin.
“Gak ada
yang tau Ndre,” kata Calvin sedih.
“Temen-temen
Gue juga gak ada yang tau nih. Tapi masih ada yang belum membalas ke gua Vin.
Mudah-mudahan masih ada harapan, ada yang tau.”
“Kalo
temen-temen Gue udah membalas semua. Gimana ya Ndre? Gue gak tau mau gimana
kalo sempet rekaman kita itu meluas.”
“Jangan
langsung panik gitu dhonk, Vin. Mudah-mudahan temen Gue yang belum membalas ini
ada yang tau.”
“Ndre, Gue
bener-bener jijik baca sms si pengintip yang Elo reply ke Gue. Kalo
ketemu mau deh Gue tonjok dia,” kata Calvin kesal.
“Tenang Vin.
Kalo ketemu, gak usah Elo yang nonjok. Gue yang bakalan menghajar tuh orang
duluan,” kata Andre.
Dia juga
kesel banget dengan si pengintip yang menerornya.
“Orang tua
Elo kerja Vin?” tanya Andre.
“Iya.
Kenapa?”
“Gak papa.
Gue cuman mau mastiin aja kalo kita ngomong bisa leluasa,” kata Andre.
“Tapi jangan
terlalu keras, entar pembantu Gue denger,” jawab Calvin mengingatkan.
Beberapa sms
masuk lagi ke ponsel Andre. Tetap juga jawaban yang mereka peroleh tidak sesuai
dengan yang mereka harapkan. Semua teman Andre sudah mengirimkan balasan.
Musnahlah sudah harapan mereka untuk mengetahui apakah ada teman mereka yang
mengetahui pemilik nomor ponsel peneror.
“Gimana dong
Ndre?” tanya Calvin.
Wajah
gantengnya terlihat keruh.
“Gue juga
jadi makin pusing nih,” kata Andre.
Keduanya
lalu terdiam seribu bahasa. Pusing dengan apa yang mereka hadapi saat ini.
“Besok
temenin Gue deh Vin,” akhirnya Andre memecahkan kesunyian.
“Ngapain?”
“Papa nyuruh
Gue ketemu dengan seorang perwira TNI yang akan membantu Gue mempersiapkan diri
untuk seleksi taruna Akmil.”
“Elo pake
koneksi ya?” tuduh Calvin. Ia tak suka apabila sahabatnya itu lulus Akmil
secara KKN.
“Enggak
dong. Cuman bantuin persiapan doang. Gue mana mau pake koneksi-koneksian Vin.”
“Gitu ya.”
“Ya. Dari
pada Elo di rumah doang, gak ada kegiatan. Sekolah juga udah gak masuk lagi.
Entar Elo kepikiran terus soal pengintip gila ini.”
“Mmm… Liat
besok deh, niatnya Gue mau belajar aja.”
“Gue yakin
Elo gak bakalan deh bisa konsentrasi belajar.”
“Iya juga
sih.”
“Makanya
ikut aja dengan Gue.”
“Jam berapa
perginya?”
“Pagi-pagian
aja.”
“Boleh deh
kalo gitu.”
Keduanya
terdiam lagi.
“Ngomong-ngomong,
Elo udah baikan ya sama bokap?” tanya Calvin memecahkan suasana.
“Hehehe.
Iya, Gue pikir gak ada gunanya juga musuhan. Lagian Gue juga bukan orang
baik-baik amat kok. Buktinya kita berdua aja kepergok lagi ngesex di kelas.
Sejak itu Gue sadar, kalo Gue juga rusak. Gue dan Papa Gue, sama aja sakitnya.
Dan Gue juga gak mau keutuhan keluarga Gue jadi hancur,” sahut Andre.
“Gak
nyangka, Lo jadi bijaksana gitu,” kata Calvin nyengir.
Andre pun
nyengir. Lalu keduanya terdiam lagi, cukup lama. Sibuk dengan pikiran sendiri
lagi.
“Jalan-jalan
aja yuk Vin,” kata Andre memecahkan keheningan lagi.
“Siang-siang
begini?”
“Abis mau
ngapain lagi. Enakan jalan-jalan dari pada suntuk begini. Cari makan kek, ato
ngapain deh.”
“Ayo deh.
Gue ganti baju dulu ya.”
“Gue tunggu
di sini ya.”
“Gak mau
lihat Gue ganti baju?” pancing Calvin.
“Gak usah
deh. Entar Elo ganti bajunya jadi lama.”
“Kok bisa?”
“Abis Gue
terangsang liat Elo.”
“Dasar.
Bentar ya.”
“Ya.”
Calvin lalu
masuk ke dalam rumah, meninggalkan Andre duduk sendiri di teras. Menunggu
Calvin bertukar pakaian, Andre iseng membersihkan sepeda motornya yang berdebu.
Ponsel Andre kembali berdering. Pasti sms dari si peneror, kata Andre dalam
hati. Di cuekinnya saja sms itu. Ia asik mengelap sepeda motornya dengan kain
lap sambil bersiul-siul.
Sedang asik
mengelap sambil bersiul-siul, tiba-tiba Andre di kejutkan oleh teguran seorang
gadis di pintu gerbang rumah Calvin. Sebuah taxi baru saja melaju meninggalkan
sang gadis di depan pintu gerbang itu. Rupanya saking asiknya membersihkan
sepeda motornya sambil bersiul, Andre tak menyadari bila tadi ada sebuah taxi
yang berhenti di depan rumah sahabatnya itu.
“Mas,
Calvinnya ada?” tanya gadis itu sambil membuka pintu gerbang rumah Calvin dan
kemudian memasuki halaman rumah, mendekati Andre.
“Ada Mbak.
Lagi di dalem, tukar baju,” jawab Andre.
Ia mengamati
gadis cantik itu. Tatapannya pada sang gadis menyiratkan tanda tanya. Siapa
makhluk manis ini? Ia belum pernah bertemu dengannya saat berada di rumah
Calvin.
“Temennya
Calvin ya?” tanya gadis itu.
“Iya Mbak,
saya Andre,” kata Andre sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan,
berkenalan.
Berharap
sang gadis juga memperkenalkan dirinya.
“Ooo… Ini
toh yang namanya Andre,” komentar sang gadis.
Bukan
namanya yang disebutkannya. Namun malah tanggapan, sepertinya dia sudah
mengetahui siapa Andre ini.
“Iya Mbak.
Udah kenal dengan saya ya? Perasaan saya bElon pernah ketemu deh,” Andre jadi
penasaran.
Ia merasa
belum pernah kenal dengan gadis ini. Namun sepertinya gadis ini sudah
mengetahui tentang dirinya.
“Kenal sih
belon. Kan kita baru ketemu hari ini. Cuman denger nama kamu udah sering,”
jawab sang gadis.
Dia
tersenyum ramah. Membuat wajahnya yang cantik, semakin indah dilihat.
“O… ya? Kok
bisa?” tanya Andre bingung. “Udah sering denger nama Gue? Dari siapa? Siapa
juga yang suka bercerita tentang dirinya pada gadis ini?” batin Andre.
“Saya Desi,
sepupunya Calvin. Calvin sering cerita soal kamu lho,” kata Desi.
Jawaban Desi
membuat Andre ge er. Calvin sering bercerita tentangnya? Andre menyadari bahwa
Calvin memang memendam rasa padanya, hingga sering bercerita tentang dirinya
pada gadis ini. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri. Entah kenapa ia merasa senang
mendengar kata-kata gadis ini, bahwa Calvin sering menceritakan tentang
dirinya. Namun kemudian Andre tersadar, kalo ia sedang senyum sendiri di hadapan
gadis itu. Kesadarannya timbul, karena gadis itu di lihatnya memandang
kepadanya dalam pandangan yang bingung.
“Ooo… Saya
memang sering belajar bersama dengan Calvin Mbak,” kata Andre sedikit gugup.
“Karena itu
Calvin jadi sering bercerita tentang saya ya?” sambung Andre.
Suasana jadi
agak kaku, Andre jadi salah tingkah. Sementara Desi juga jadi bingung dengan
kekakuan suasana yang terjadi.
“Ya… Calvin
sering bercerita kalo kalian selalu belajar bersama,” kata Desi.
Ia mencoba
menetralisir suasana. Padahal ia tidak tahu apa-apa soal belajar bersama antara
Calvin dan Andre. Untung saja Andre membuka percakapan ke arah itu. Hal yang di
ketahuinya soal Andre bukan tentang belajar bersama. Tapi kecurigaannya bahwa
sepupunya Calvin, ada perasaan khusus pada Andre ini.
Desi tak
menyangka, bahwa Calvin sudah bersahabat dengan yang namanya Andre ini. Selama
ini Calvin belum bercerita padanya. Yang di ketahui Desi selama ini adalah
Calvin mengagumi Andre, namun tak pernah berani untuk bersahabat dengannya.
Melihat Andre ada di rumah Calvin saat ini, Desi merasa mendapat kejutan.
Calvin punya rahasia rupanya, katanya dalam hati.
Tak lama
kemudian Calvin keluar dari dalam rumah. Ia sudah rapi dengan setelan jeans dan
kemeja kotak-kotak. Begitu melihat Desi sedang ngobrol-ngobrol dengan Andre,
sontak Calvin terkejut. Ia langsung berjalan cepat mendatangi sepupunya itu.
“Desi! Kapan
datang?” seru Calvin gembira.
Tubuh mungil
sepupunya itu langsung di peluknya erat. Membuat Desi susah bernafas dan tak
bisa langsung menjawab pertanyaan sepupunya yang ganteng itu.
“Kangen
banget Gue sama Elo. Waktu gempa kemaren Gue berharap Elo segera ke Jakarta.
Syukurlah tempat kos Elo di sana gak kenapa-kenapa ya,” bisik Calvin pada Desi
penuh haru sekaligus juga gembira.
Ketika gempa
mengguncang Yogyakarta, Calvin memang segera menghubungi sepupunya itu. Dia
kuatir terjadi apa-apa pada Desi. Setelah Desi mengabarkan bahwa dirinya tidak
apa-apa barulah Calvin lega. Namun demikian setiap waktu Calvin tetap menayakan
perkembangan kondisi Desi dan memintanya untuk segera ke Jakarta sampai situasi
di Yogya lebih kondusif. Namun gadis itu menolak dengan alasan ia menjadi
relawan disana.
“Gue juga
kangen banget sama Elo. Ini aja baru nyampe Gue langsung kesini gak ke rumah
orang tua Gue dulu. Nggghhh… keliatannya Elo berdua mau pergi ya?” kata Desi
bertubi-tubi, setelah Calvin melepaskan pelukan yang erat di tubuhnya.
“Niatnya sih
gitu. Oh… iya, Des kenalin ini..,” sahut Calvin dan akan memperkenalkan Andre
pada sepupunya.
Namun belum
selesai kalimatnya, Desi sudah memotong.
“Andre. Tadi
udah kenalan kok,” potong Desi.
“I… iya…
udah kenal ya?” Calvin terlihat malu-malu.
Meski tak
terlihat jelas, namun wajahnya bersemu merah saat itu.
“Iya Vin.
Tadi udah kenalan sebelum Elo keluar,” kata Andre mengiyakan kata-kata Desi.
Calvin agak
salah tingkah berhadapan dengan Desi dalam situasi seperti ini. Pandangan Desi
di rasakannya seperti menggodanya.
“Kalo mau
pergi ya silakan. Gue nungguin di rumah Elo aja ya,” kata Desi.
“Gak usah
Mbak. Ikutan aja gak papa kok,” kata Andre.
“Gak usah
deh,” kata Desi menolak.
“Gak papa
Des, ikutan aja. Kita naik mobil kalo gitu ya Ndre,” kata Calvin.
“Oke,” sahut
Andre menyetujui.
Desi
akhirnya ikut. Andre bertugas jadi supir mengemudikan mobil milik Calvin. Mobil
yang sangat jarang di pakai oleh Calvin, karena cowok itu memang kurang suka
mengemudikan mobil. Ia lebih memilih naik bis atau kendaraan umum lain bila
pergi sendiri.
Mereka
bertiga jalan-jalan di plaza dalam kompleks perumahan Bintaro. Di awali dengan
makan siang, kemudian berlanjut dengan main game dan nonton film di Studio 21.
“Datang kok
gak ngasih kabar dulu Des? Hmmm Elo gak pulang ke rumah dulu gak papa nih?
Nanti kalo Tante Rini tau gimana?” bisik Calvin pada Desi.
Ia
menyempatkan bertanya pada sepupunya itu di dalam bioskop saat film sedang di
putar. Karena ia merasa aneh dengan kedatangan Desi yang tiba-tiba itu.
“Entar deh
Gue ceritain. Gak enak masih ada Andre,” kata Desi balas berbisik.
“Eh… Elo
pacaran ya dengan Andre?” tanya Desi langsung ke sasaran.
Calvin jadi
gugup dengan pertanyaan seperti itu.
“Enggg…
enggak kok. Dia udah punya cewek kok!” Calvin menjawab sambil berbisik lagi.
Takut
kedengaran Andre yang duduk di sebelahnya.
“Jangan
bohongin Gue!” kata Desi tegas.
Calvin pun
mingkem.
***
Usai
bercinta yang cukup menguras tenaganya dengan Asep di bath tub, Cindy
langsung mandi dan kemudian terlelap di kamarnya hingga tengah hari. Seperti
semalam, tadi Asep juga menemaninya tidur sambil berpelukan mesra di bawah
selimut tebal. Kedua orang tuanya yang belum kembali dari Singapura menyebabkan
Cindy bisa bebas membawa Asep ke dalam kamar itu. Saat terbangun di lihatnya
Asep sedang sholat dzuhur di dalam kamar menggenakan sejadah Cindy yang udah
lama banget tak di gunakan gadis itu. Kehidupan yang bebas menyebabkan gadis
itu memang sudah cukup lama melupakan kegiatan religius. Melihat Asep yang
sedang sholat tak urung membuat gadis itu tertawa geli.
“Kenapa
ketawa Non?” tanya Asep pada Cindy setelah menunaikan sholatnya.
“Kamu itu
aneh-aneh aja Sep. Tadi pagi kita barusan aja ngentot. Itukan berzinah. Ngapain
juga kamu sekarang sholat?” kata Cindy.
“Habis udah
kebiasaan Non. Kalo ga sholat rasanya ada yang kurang.”
“Dasar gak
jelas kamu. Sholat kok cuman kebiasaan doang. Harusnya kalo kamu sholat jangan
lagi berzinah dong,” kata Cindy lagi sambil tertawa geli.
Asep cuman
tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
Kemudian
dengan cuek gadis itu melepaskan selimut dari tubuhnya yang telanjang dan
berjalan menuju lemari mencari pakaian. Asep yang sedang melipat sejadah dan
sarungnya, langsung mElotot menatap tubuh indah majikannya itu.
“Sep, kamu
bisa nyetir mobil?” tanya Cindy sambil menggenakan kaos dan celana jeans ketat
ke tubuhnya.
“Enggak bisa
Non,” jawab Asep.
“Belajar
nyetir dong. Supaya nanti bisa nyupirin Gue,” kata Cindy.
“Kalo
diajarin saya mau Non,” sahut Asep.
“Eh, kamu
tuker baju yang rapi deh. Kita pergi ke rumah Mbak Cinta aja sekarang. Siapa
tau suaminya bisa ngasih kamu kerjaan. Soalnya Mami sama Papi baru balik ke
Indonesia minggu depan. Nungguin mereka ngasih kerjaan ke kamu kan kelamaan,”
kata Cindy.
Asep
mengangguk setuju. Senang juga dia melihat keseriusan Cindy mencarikannya
pekerjaan.
Asep lalu
bertukar pakaian di kamar itu. Pakaian yang paling rapi menurutnya ternyata
sangat kucel menurut pandangan Cindy.
“Apa gak ada
baju yang lebih bagus Sep?” tanya Cindy.
“Gak ada
Non. Ini udah yang paling bagus. Dibeliin ibu buat lebaran tahun lalu,” sahut
Asep.
Cindy cuman
geleng-geleng kepala. Dasar orang udik, batinnya dalam hati. Cindy lalu membawa
Asep ke rumah Cinta, kakak kandungnya yang tinggal di sebuah perumahan kawasan
Depok. Cinta ini adalah kakak tertua Cindy yang menikah dengan seorang pegawai
sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pengElolaan jalan tol.
Mas Yudha,
nama suami Mbak Cinta, saat ini menjabat sebagai kepala personalia di kantor
cabang Jakarta. Meskipun kehidupan keluarga kakak tertua Cindy itu sudah
berkecukupan, namun bila di bandingkan dengan keluarga besar Cindy yang
terbiasa hidup mewah tentu bak langit dan bumi saja.
Kedua orang
tua Cindy sebenarnya kurang setuju atas pilihan Cinta menikahi Yudha. Mereka
sebenarnya menginginkan kakak tertua Cindy itu menikah dengan anak relasi
mereka yang sama-sama hidup bergelimang harta. Namun apa hendak di kata Cinta
sangat teguh dengan pilihannya sendiri.
Meskipun
jarang bertemu, karena orang tua mereka kurang suka bila Cindy sering
mengunjungi sang kakak. Namun Cindy yang sejak kecil memang sangat dekat dengan
Cinta, sering berkomunikasi via telepon. Banyak hal yang sering di curhatkan
Cindy pada kakaknya itu dan Cinta akan dengan sabar mendengarkan curhat adiknya
tersayang. Kuliah di Psikologi, meskipun saat ini hanya di rumah saja menjadi
ibu rumah tangga ternyata mengembangkan pola berpikir Cinta, sehingga apa yang
di kemukakannya dapat menjadi solusi bagi orang lain.
Tiba di
rumah Cinta, Cindy di sambut dengan hangat oleh kakak tertuanya itu. Dalam
hati, Asep mengagumi kemolekan kakak tertua Cindy itu. Kedua kakak beradik itu
memang sama-sama di angerahi oleh Yang Maha Kuasa dengan wajah yang cantik dan
tubuh yang indah. Perbedaan antara keduanya adalah Cinta terlihat anggun sekali
sedangkan Cindy sangat manja.
Cinta
mengajak kedua tamunya masuk ke dalam rumahnya yang mungil namun asri. Rumah
yang di huni oleh Cinta dan keluarganya itu adalah rumah kompleks tipe 70
dengan tiga kamar saja. Setelah basa-basi sejenak sambil ngeteh dan ngemil,
Cindy segera mengutarakan maksud kedatangannya kepada Cinta.
“Mbak, ingat
gak dengan Asep putra Mang Harja yang jagain villa kita di Puncak?” tanya
Cindy.
“Udah lupa
dong Cindy sayang. Udah lama bangetkan Mbak gak kesana,” sahut Cinta.
“Emang
kenapa dengan dia?”
“Asep datang
ke rumah kemaren. Dia ngomong ke Cindy katanya minta di cariin kerjaan di
Jakarta. Ini orangnya Mbak,” kata Cindy menunjuk Asep.
Sekilas
Cinta melirik Asep yang di tunjuk oleh Cindy. Cowok desa itu terlihat malu-malu
dan menundukan kepalanya saja sejak tadi.
“Terus
maksud kamu gimana?” tanya Cinta.
“Siapa tau
Mbak bisa bantu atau Mas Yudha mungkin, makanya Cindy bawa kemari aja. Soalnya
kalo di rumah paling juga cuman di suruh jaga kebun sama Mami. Lagian Mami dan
Papi juga gak ada di rumah nih. Cindy bingung mau cariin kerja Asep kemana,
makanya Cindy kemari aja,” cerocos Cindy.
“Kamu ini
memang kalau ada masalah aja baru inget sama mbak di Depok sini ya?” kata
Cinta.
Cindy
nyengir mendengar kata-kata kakaknya itu. Tiba-tiba seorang bocah perempuan
umur tiga tahunan datang mendekati Cinta, di ikuti seorang pengasuh berseragam
perawat warna putih dari belakangnya. Mata Asep sempat-sempatnya ngelirik si
pengasuh. Tau aja Asep liat barang bagus. Perawat itu memang masih remaja
dengan wajah dan tubuh yang lumayan mengundang selera lelaki. Sang perawat
rupanya gatel juga, matanya juga melemparkan lirikan maut ke Asep.
“Ih, ini
Clara kan Mbak. Udah gede banget ya,” kata Cindy sambil mendekati bocah mungil
tadi.
Maksudnya
akan menggendong namun Clara berlari menuju Cinta.
“Kamunya sih
males kemari,” jawab Cinta lalu menggendong putrinya itu.
“Cantika
mana Mbak?” tanya Cindy pada Cinta.
Cantika
adalah putri bungsu Cinta dan masih berumur satu tahunan.
“Baru aja
tidur waktu kamu datang. Clara ini tadi juga udah mau tidur, tapi ngedenger
kamu datang bangun deh dia,” sahut Cinta lagi sambil memangku Clara.
Bocah mungil
itu serius memperhatikan tamu ibunya.
“Kamu
lulusan apa Sep?” tanya Cinta pada Asep.
“Hmm… SMA
Non,” sahut Asep malu-malu.
“Mudah-mudahan
di kantor Mas Yudha ada lowongan ya Sep. Kalau jadi satpam maukan?” tanya
Cinta.
“Mau banget
Non. Terima kasih atuh Non,” sahut Asep berseri-seri.
“Nanti
tolong tanyain ke Mas Yudha ya Mbak,” kata Cindy.
“Iya, nanti
Mbak tanyain.”
Asep duduk
diam mendengar obrolan kakak-beradik itu. Ia tak tahu harus melakukan apa. Gak
mungkinkan dia ngentotin dua kakak beradik yang aduhai itu.
***
Saat malam
menjelang Andre, Calvin, dan Desi pulang ke rumah Calvin. Andre sebenarnya
berniat untuk menginap di sana, namun kehadiran Desi menyebabkan niat itu di
urungkannya. Andre pamit pulang setelah mengantar kedua sepupu itu.
“Vin, Gue
pengen cerita,” kata Desi saat Andre sudah pulang kerumahnya.
“Tante sama
Om, masih lama kan pulangnya?” tanya Desi mengkonfirmasi. Calvin
melirik jam tangannya,
“Lumayan
juga sih, emang kenapa?” tanyanya.
“Cuma
mastiin aja, biar Gue leluasa cerita ke Elo.”
“Cerita
apaan sih?”
“Gue punya
masalah.”
“Gue tau.
Liat Elo begitu lepas saat main game tadi, Gue curiga masalah Elo kayaknya
berat banget ya.”
“Elo juga
tadi lepas banget.”
“Kita gak
sedang bahas soal Gue kan?”
“Entar kita
bahas juga soal Elo. Terutama hubungan Elo sama Andre?”
“Gue gak ada
apa-apa dengan dia.”
“Jangan
berdalih!”
“Terserah
Elo.”
“Vin…”
“Apa?”
“Dion
ninggalin Gue!”
Deg! Jantung
Calvin berdegup keras. Mendengar nama Dion, ia jadi teringat apa yang di
lakukan Dion padanya, sakit hatinya tiba-tiba muncul kembali. Namun ia berusaha
bersikap biasa. Ia tak mau Desi tahu apa yang di lakukan Dion padanya.
“Lalu
kenapa? Elo kan bisa cari cowok lain.”
“Masalahnya
bukan itu.”
“Terus apa?”
“Kayaknya
Gue hamil deh,” jawab Desi lirih.
“Apa? Gila
Lo,” seru Calvin.
“Sssttt…
jangan keras-keras ngomongnya.”
“Lo harus
minta tanggung jawab dia dong!”
“Gue gak tau
dia di mana sekarang. Dia pamit ke Gue katanya ada acara organisasi kampus di
Jakarta sini. Tapi setelah itu dia gak pernah komunikasi lagi ke Gue. Waktu Gue
tanyain ke temen-temennya, mereka bilang gak ada acara itu di Jakarta. Gue coba
hubungi terus ke ponselnya, tapi udah gak aktif lagi,” wajah Desi terlihat
sangat keruh.
Emosi Calvin
timbul, kemarahannya pada Dion kembali membara. Rasanya Calvin pengen menceritain
apa yang dilakukan Dion padanya, namun ia yakin itu akan semakin memperkeruh
suasana. Akhirnya ia tak jadi menceritakannya.
“Elo gak
hubungi keluarganya di Palembang?” tanya Calvin.
“Itulah, Gue
gak tau bagaimana mau menghubunginya. Gue gak pernah nanyain soal itu padanya
Vin. Gue kok bego banget ya?”
“Elo kan
bisa tanya-tanya soal itu ke bagian administrasi di kampusnya dia.”
“Malu Gue.
Kayak cewek kegatelan aja nanya-nanya alamat cowok ke administrasi.”
“Jadi gimana
dong?”
“Vin, kalo
pun dia mau bertanggung jawab. Gue bElon siap buat kawin Vin.”
“Maksud
Elo?”
“Gue masih
pengen beresin kuliah Gue dulu.”
“Kalo gitu,
Elo mau kuliah terus dalam keadaan hamil?”
“Ya enggak
dong.”
“Terus
gimana?”
“Gue pengen
gugurin aja kandungan Gue ini.”
“Astaga!
Des, Elo ngawur deh.”
“Abis mau
gimana lagi? Kalo Mama sama Papa tau, Gue gak tau apa yang bakalan terjadi
nantinya.”
“Kalo Mama
sama Papa Gue tau Elo di sini gimana? Kan Om sama Tante akhirnya tau juga kalo
Elo disini.”
“Makanya
jangan sampe tau. Niatnya Gue mau nginep di hotel aja malam ini.”
“Elo sih,
pacaran sama orang gak beres kayak gitu.”
“Gue mana
tau kalo dia gak beres awalnya. Baru sekarang aja Gue tau kalo Dion itu emang
kurang ajar.”
“Elo tau apa
tentang dia?”
“Banyak Vin.
Sekarang gua udah banyak banget tahu tentang dia. Temennya cerita ke Gue
semuanya.”
“Kenapa
temennya gak cerita ke Elo sejak dulu? Temennya itu berarti ikut jerumusin Elo
dong!”
“Enggak Vin.
Mereka bilang sejak awal mereka juga pengen nyeritain ke Gue. Tapi mereka gak
enak hati, karena takut di anggap mengganggu hubungan Gue dengan Dion.”
“Apa aja
yang Elo tau tentang dia?”
“Dion emang
kurang ajar Vin. Sebenarnya Gue malu nyeritainnya ke Elo.”
“Kalo Elo
malu sama Gue, ngapain Elo ceritain kalo Elo hamil ke Gue.”
“Iya sih.
Dion itu ternyata gigolo Vin. Dia praktek gituan udah lama. Dia cari duit dari
situ. Keluarganya di Palembang kata temen-temennya juga gak beres. Duh Vin, kok
Gue bisa jatuh cinta sama orang begitu ya?” Desi terlihat sangat menyesal.
Air matanya
sudah mengalir deras, Ia terisak-isak. Calvin merasa sangat sedih dengan
keadaan sepupunya ini. Tak di sangkanya, dirinya dan sepupunya ini menjadi
korban kebiadaban si Dion sekaligus. Calvin merengkuh tubuh sepupunya itu. Di
peluknya erat dengan penuh kasih sayang.
“Jadi
rencana Elo selanjutnya gimana Des?” bisik Calvin lembut.
“Vin,
temenin Gue cari orang yang mau gugurin kandungan Gue ini ya.”
“Tapi Gue
gak tau Des. Gue buta soal hal begituan.”
“Gue juga
Vin. Tolong bantu Gue ya,” kata Desi.
“Gue akan
bantu Elo sebisa Gue, Des.”
“Makasih
Vin. Elo emang baek banget sama Gue,” lirih suara Desi dalam pelukan Calvin.
Untuk
beberapa saat mereka terdiam dalam keadaan berpelukan. Tiba-tiba Desi
melepaskan pelukannya dari Calvin. Ia menatap sepupunya itu.
“Apa?” tanya
Calvin bingung dengan tatapan Desi.
“Sekarang
Gue mau nanya.”
“Nanya
apaan?”
“Hubungan
Elo dengan Andre!”
“Des, plis…”
“Kenapa
emangnya? Apa pun cerita Elo, Gue akan bisa menerimanya kok. Gue udah renungin
lama tentang diri Elo Vin. Kalo emang Elo beneran gay, Gue gak papa kok. Gue
akan tetap jadi sepupu Elo yang akan dengar semua curhat Elo,” kata Desi.
“Bukan gitu
Des. Tapi jangan sekarang ya. Suatu saat Gue pasti akan cerita semuanya ke
Elo.”
“Mmm…
baiklah kalo gitu. Gua akan nunggu kapan Elo siap untuk cerita ke Gue.”
“Makasih
Des.”
Malam itu
Calvin mengantarkan Desi mencari hotel untuk menginap. Setelah itu dia pulang
ke rumahnya kembali. Rasanya kepalanya menjadi semakin pusing. Satu masalah
belum selesai di hadapinya. Kini ada lagi masalah baru, masalah Desi yang mau
gak mau juga menjadi masalahnya.
***
Cinta
melarang Cindy pulang ke rumah malam itu.
“Mami dan
Papikan masih di Singapur, mending kamu menginap di sini aja deh malam ini.
Lagian Mas Yudha bisa ketemu langsung dengan Asep. Jadi kalo memang ada
lowongan, Asep bisa mempersiapkan apa yang dibutuhkan,” alasan Cinta pada
Cindy.
Keduanya
sedang ngobrol di dapur sambil menyiapkan makan malam. Sementara Asep di ruang
tamu bersama sang pengasuh menjagai Clara dan Cantika. Asep bener-bener cari
kesempatan dalam kesempitan nih.
“Tapi
Mbak..,” kata Cindy tertahan.
“Tapi
kenapa? Kamu gak biasa tidur di rumah kecil kayak gini?” potong Cinta langsung.
Ibu muda itu
paham kalo adiknya itu agak berat menginap di rumah mereka.
“Ya, Cindy
gak enak ngerepotin Mbak aja. Kalo Cindy tidur di sini Mas Yudhakan biasanya
harus ngungsi tidur ke kamar Mas Indra,” kata Cindy.
“O… iya
mbak, Mas Indra kok gak kelihatan sejak tadi?”
Mas Indra
yang dimaksud oleh Cindy ini adalah adik kandung suami Cinta. Sejak kuliah di
sebuah perguruan tinggi swasta di kawasan Depok, adik ipar Cinta ini memang
menumpang di rumah mereka. Kedua orang tua suami Cinta sudah meninggal beberapa
tahun yang lalu, sehingga Yudha sebagai anak yang tertua bertanggung jawab
mengasuh adiknya itu.
Dalam hati
Cindy, sebenarnya sangat salut melihat Cinta. Dulu kakaknya itu hidup
bergelimang harta dan cuek dengan urusan keluarga. Namun kini bisa hidup
bersama Yudha dalam kesederhanaan dan masih sempat mengurusi keluarganya dengan
baik. Termasuk bersedia mengasuh adik suaminya. Padahal seingat Cindy, kakaknya
itu dulu juga sering hura-hura bersama dengan Tante Vonny, adik bungsu ibu
mereka. Usia Cinta dan Tante Vonny memang tidak berbeda jauh, hanya berselisih
lima tahun saja. Karena itu mereka sangat akrab ketika remaja dulu. Sementara
jarak usia Cinta dan Cindy cukup jauh. Cindy tidak mengetahui apa yang membuat
kakak tertuanya itu bisa berubah sedrastis itu.
“Indra udah
kerja Cin. Mas Yudha juga yang masukin kerja.”
“Kerja di
mana Mbak?” tanya Cindy.
“Sama dengan
Mas Yudha. Tapi kalo Mas Yudha kan di kantornya, sedangkan Indra di gerbang
tolnya.”
“Gerbang tol
mana sih? Kok aku gak pernah jumpa ya?”
“Mbak juga
gak pernah sih nanya-nanya ke dia. Nanti kamu tanyain aja sendiri sama Indra.
Ini udah jam berapa ya Cin?” kata Cinta sambil melirik jam dinding di rumahnya,
setelah ia tahu jam berapa saat itu lalu berkata,
“Kayaknya
bentar lagi mereka berdua pulang deh dan kamu wajib nginap disini malam ini!”
“Tapi Mbak…”
“Gak ada
tapi-tapian lagi!” sahut Cinta tegas.
Mau tak mau
Cindy akhirnya menuruti kata-kata kakaknya itu, jadilah Cindy dan Asep menginap
di rumah Cinta malam itu.
Bersambung...

0 komentar: